Mimpi Besar, Kode Berantakan
Di suatu malam panjang Januari 2018, saya duduk di meja kerja kecil di sudut kantor Jakarta. Layar berkedip, kopi sudah dingin. Produk yang kami kembangkan harus rilis pekan depan—fitur besar, ekspektasi tinggi. Saya punya ide ambisius: mengganti sistem deployment manual dengan satu tool internal yang akan menyatukan semua langkah. Tinggi sekali, dan saya melompat tanpa persiapan matang.
Hasilnya? Beberapa server down, rollback panik, dan tim menatap saya dengan campuran kecewa dan lelah. Saya ingat bisik dalam kepala: “Kenapa harus kompleks begini?” Emosi itu bukan malu kosong — itu pelajaran yang menusuk. Proyek besar itu gagal karena saya mencoba menyelesaikan semua masalah sekaligus, tanpa prototipe kecil atau uji nyata.
Solusi Kecil yang Saya Remehkan
Beberapa minggu setelah kekacauan itu, saya memutuskan mencoba hal berbeda: memetakan tugas-tugas paling menyita waktu selama rilis—copy file, update config, cek log, notifikasi. Saya mulai menulis skrip bash sederhana. Satu perintah: deploy-staging. Dua menit kerja yang sebelumnya makan waktu 20 menit menjadi otomatis. Itu kecil. Sangat kecil. Tapi rasanya seperti menyalakan lampu setelah berbulan-bulan bekerja dalam gelap.
Saya juga membuat template PR di GitHub yang berisi checklist. Kapan terakhir Anda melihat PR yang sudah terisi checklist dengan jelas? Efeknya langsung terasa: reviewer tahu apa yang dicek, QA tahu skenario yang harus dites. Kemudian saya menambahkan pre-commit hook untuk linting — bukan untuk memaksa, tapi untuk mencegah 5 menit debugging karena typo. Semua itu lahir dari kegagalan besar tadi. Kesimpulannya: inovasi kecil seringkali lebih berdaya guna dari ambisi spektakuler.
Dari Eksperimen ke Rutinitas: Tools Sederhana yang Bekerja
Saya ingat saat pertama kali memperkenalkan automation kecil itu ke tim pada Februari 2019. Reaksi awal: skeptis. “Ini cuma skrip bash, kenapa heboh?” kata seorang engineer. Saya jawab, “Coba saja satu minggu.” Mereka mau. Hasilnya: rata-rata deployment lebih cepat 40%, dan jumlah rollback menurun. Lebih penting lagi: stres tim turun. Saya melihat rekan kerja yang biasanya cemberut saat rilis, tersenyum saat pulang jam 7 malam karena ada waktu untuk keluarga.
Detail teknis yang saya gunakan cukup sederhana: skrip modular, dokumentasi singkat, dan integrasi dengan Slack untuk notifikasi. Untuk tugas berulang di desktop, saya pakai AutoHotkey di Windows dan Shortcuts di macOS—beberapa baris saja untuk mengisi form berulang atau menyalin data yang sama. Untuk pekerjaan content dan dokumentasi, snippets di VSCode menyelamatkan puluhan menit setiap hari. Ini bukan solusi revolusioner. Tapi ketika dikombinasikan, mereka membentuk ekosistem kecil yang membuat alur kerja jauh lebih lancar.
Saya juga pernah menemukan ekstensi browser yang membantu melakukan validasi cepat pada halaman web—link yang malah mengarahkan ke sumber lama. Rekomendasi ekstensi ini saya dapat dari sebuah blog kecil, bahkan sempat menyimpan referensinya di apothekerome karena catatan penggunaan yang jujur dan praktis. Itu lagi: sumber kecil, dampak besar.
Pelajaran Saya: Mulai dari Kecil, Ukur, Ulangi
Ada tiga prinsip yang saya pegang sekarang, hasil dari banyak kegagalan dan beberapa kemenangan sederhana. Pertama: mulai kecil. Jangan buat sistem raksasa untuk menyelesaikan satu masalah kecil. Kedua: ukur dampak. Jika automasi menghemat 10 menit per tugas tapi dipakai 100 kali sehari, itu berarti lebih banyak jam kerja tersedia untuk inovasi nyata. Ketiga: iterasi cepat. Biarkan tim mencoba, gagal, lalu perbaiki dengan feedback nyata — bukan asumsi.
Saya selalu menyarankan satu latihan praktis: pilih satu rutinitas yang paling menguras waktu di minggu ini. Buat skrip 30 menit. Terapkan. Catat penghematan waktu dan rasa lega. Ulangi. Pengalaman saya menunjukkan, kombinasi kecil-kecil ini mengurangi beban kognitif lebih efektif daripada satu solusi besar dan rumit.
Di akhir hari, inovasi yang paling merubah hidup kerja bukanlah teknologi paling canggih, melainkan kebiasaan untuk memperbaiki hal kecil secara konsisten. Jangan takut gagal. Gagal dulu, baru paham. Setelah itu, kita bisa membangun hal yang benar-benar berguna — satu langkah kecil pada satu waktu.